Jumat, 11 Januari 2013

Akuntansi Syariah

A.Latar Belakang Benarkah ilmu akuntansi ada dalam Islam? Pertanyaan ini begitu menggelitik, karena agama sebagaimana dipahami banyak kalangan, hanyalah kumpulan norma yang lebih menekankan pada persoalan moralitas. Dan karenanya prinsip-prinsip kehidupan praktis yang mengatur tata kehidupan modern dalam bertransaksi yang diatur dalam akuntansi, tidak masuk dalam cakupan agama. Anggapan terhadap akuntansi Islam (akuntansi yang berdasarkan syariah Islam) wajar saja dipertanyakan orang. Sama halnya pada masa lalu orang meragukan dan mempetanyakan seperti apakah ekonomi islam. Jika kita mengkaji lebih jauh dan mendalam terhadap sumber dari ajaran Islam –Al-Qur’an maka kita akan menemukan ayat-ayat maupun hadits-hadits yang membuktikan bahwa Islam juga membahas ilmu akuntansi. Agama diturunkan untuk menjawab persoalan manusia, baik dalam tataran makro maupun mikro. Ajaran aama memang harus dilaksanakan dalam segala aspek kehidupan. Dalam pelaksanaannya, ajaran agama sebagai “pesan-pesan langit” perlu penerjemahan dan penafsiran. Inilah masalah pokoknya : “membumikan” ajaran langit. Di dunia, agama harus dicari relevansinya sehingga dapat mewarnai tata kehidupan budaya, politik, dan sosial-ekonomi umat. Dengan demikian, agama tidak melulu berada dalam tataran normatif saja. Karena Islam adalah agama amal. Sehingga penafsirannya pun harus beranjak dari normatif menuju teoritis- keilmuan yang faktual. Eksistensi akuntansi dalam Islam dapat kita lihat dari berbagai bukti sejarah maupun dari Al- Qur’an. Dalam Surat Al-Baqarah ayat 282, dibahas masalah muamalah. Termasuk di dalamnya kegiatan jual-beli, utang-piutang dan sewa-menyewa. Dari situ dapat kita simpulkan bahwa dalam Islam telah ada perintah untuk melakukan sistem pencatatan yang tekanan utamanya adalah untuk tujuan kebenaran, kepastian, keterbukaan, dan keadilan antara kedua pihak yang memiliki hubungan muamalah. Dalam bahasa akuntansi lebih dikenal dengan accountability. B. Wacana Akuntansi Syariah Akuntansi konvensional yang sekarang berkembang adalah sebuah disiplin dan praktik yang dibentuk dan membentuk lingkungannya. Oleh karena itu, jika akuntansi dilahirkan dalam lingkungan kapitalis, maka informasi yang disampaikannyapun mengandung nilai-nilai kapitalis. Kemudian keputusan dan tindakan ekonomi yang diambil pengguna informasi tersebut juga mengandung nilai-nilai kapitalis. Singkatnya, informasi akuntansi yang kapitalistik akan membentuk jaringan kuasa yang kapitalistik juga. Jaringan inilah yang akhirnya mengikat manusia dalam samsara kapitalisme.dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat Islam dan barat terdapat perbedaan yang sangat besar. Dalam masyarakat Islam terdapat sistem nilai yang melandasi setiap aktivitas masyarakat, baik pribadi maupun komunal. Hal ini tidak ditemukan dalam kehidupan masyarakat barat. Perbedaan dalam budaya dan sistem nilai ini menghasilkan bentuk masyarakat, praktik, serta pola hubungan yang berbeda pula. Tujuan akuntansi syariah adalah terciptanya peradaban bisnis dengan wawasan humanis, emansipatoris, transendental, dan teologis. Dengan akuntansi syariah, realitas sosial yang dibangun mengandung nilai tauhid dan ketundukan kepada ketentuan Allah swt. PEMBAHASAN A. Sejarah Akuntansi Syariah Akuntansi, menurut sejarah konvensional, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli yang menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan (kitabah) dalam bermuamalah (bertransaksi), penunjukan seorang pencatat beserta saksinya, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Lucas Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494M. B. Prinsip Umum Akuntansi Syari’ah Nilai pertanggung jawaban, keadilan dan kebenaran selalu melekat dalam sistem akuntansi syari’ah. Ketiga nilai tersebut tentu saja sudah menjadi prinsip dasar yang operasional dalam prinsip akuntansi syariah. Apa makna yang terkandung dalam tiga prinsip tersebut? Berikut uraian yang ketiga prinsip yang tedapat dalam surat Al-Baqarah:282. Prinsip pertanggung jawaban, Prinsip pertanggungjawaban (accountability) merupakan konsep yang tidak asing lagi dikalangan masyarakat muslim. Pertanggungjawaban selalu berkaitan dengan konsep amanah. Bagi kaum muslim, persoalan amanah merupakan hasil transaksi manusia dengan sang khalik mulai dari alam kandungan.. manusia dibebani olehAllah untuk menjalankan fungsi kehalifahan di muka bumi. Inti kekhalifahan adalah menjalankan atau menunaikan amanah. Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang proses pertanggungjawaban manusia sebagai pelaku amanah Allah dimuka bumi. Implikasi dalam bisnis dan akuntansi adalah bahwa individu yang terlibat dala praktik bisnis harus selalu melakukan pertanggungjawaban apa yang telah diamanatkan dan diperbuat kepada pihak-pihak yang terkait. Prinsip keadilan, jika ditafsirkan lebih lanjut, surat Al-Baqarah;282 mengandung prinsip keadilan dalam melakukan transaksi. Prinsip keadilan ini tidak saja merupakan nilai penting dalam etika kehidupan sosial dan bisnis, tetapi juga merupakan nilai inheren yang melekat dalam fitrah manusia. Hal ini berarti bahwa manusia itu pada dasarnya memiliki kapsitas dan energi untuk berbuat adil dalam setiap aspek kehidupannya. Dalam konteks akuntansi, menegaskan, kata adil dalam ayat 282 surat Al-Baqarah, secara sederhana dapat berarti bahwa setiap transaksi yang dilakukan oleh perusahan harus dicatat dengan benar. Misalnya, bila nilai transaksi adalah sebesar Rp 100 juta, maka akuntansi (perusahan) harus mencatat dengan jumlah yang sama. Dengan kata lain tidak ada window dressing dalam praktik akuntansi perusahaan. Prinsip kebenaran, prinsip ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dengan prinsip keadilan. Sebagai contoh, dalam akuntansi kita kan selalu dihadapkan pada masalah pengakuan, pengukuran laporan. Aktivitas ini akan dapat dilakukan dengan baik apabila dilandaskan pada niali kebenaran, kebenaran ini kan dapat menciptakan nilai keadilan dalam mengakui, mengukur, dan melaporkan tansaksi-transaksi dalam ekonomi. Dengan demikian pengembangan akuntansi Islam, nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan harus diaktualisasikan dalam praktik akuntansi. Secara garis besar, bagaimana nilai-nilai kebenaran membentuk akuntansi syariah dapat diterangkan. 1. Akuntan muslim harus meyakini bahwa Islam sebagai way of life (Q.S. 3 : 85). 2. Akuntan harus memiliki karakter yang baik, jujur, adil, dan dapat dipercaya (Q.S. An-Nisa : 135). 3. Akuntan bertanggung jawab melaporkan semua transaksi yang terjadi (muamalah) dengan benar, jujur serta teliti, sesuai dengan syariah Islam (Q.S. Al-Baqarah : 7 – 8). 4. Dalam penilaian kekayaan (aset), dapat digunakan harga pasar atau harga pokok. Keakuratan penilaiannya harus dipersaksikan pihak yang kompeten dan independen (Al-Baqarah : 282). 5. Standar akuntansi yang diterima umum dapat dilaksanakan sepanjang tidak bertentangan dengan syariah Islam. 6. Transaksi yang tidak sesuai dengan ketentuan syariah, harus dihindari, sebab setiap aktivitas usaha harus dinilai halal-haramnya. Faktor ekonomi bukan alasan tunggal untuk menentukan berlangsungnya kegiatan usaha. C. Dalil Akuntansi Dalam Al-Quran Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba (Dapat dilihat dalam Al-Qur’an surat A-Baqarah :282). “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya…” Dalam Al Quran juga disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya.. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi: ”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak- haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.” Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Dr. Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Agar pengukuran tersebut dilakukan dengan benar, maka perlu adanya fungsi auditing. Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa. Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari : a. Al Quran, b. Sunah Nabawiyyah, c. Ijma (kesepakatan para ulama), d. Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu), dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi dalam Islam, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut. Akuntansi Meta Rule Menurut,Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja di bidang ekonomi, tetapi juga bidang sosial-masyarakat dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya. Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi dalam Islam jauh lebih dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Terakhir, marilah kita renungi firman Allah SWT berikut ini: “…… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.16/ An-Nahl: 89) D. Nilai-Nilai Akuntansi syariah Akuntansi modern tidak mungkin bebas dari nilai dan kepentingan apapun, karena dalam proses penciptaan akuntansi melibatkan manusia yang memiliki kepribadian dan penuh dengan kepentingan. Nilai utama yang melekat dalam diri akuntansi modern adalah nilai egoistik. Bila informasi yang dihasilkan oleh akuntansi egoistik dikonsumsi oleh para pengguna, maka dapat dipastikan bahwa pengguna tadi akan berpikir dan mengambil keputusan yang egoistik pula Nilai utama kedua yang melekat pada akuntansi modern adalah nilai materialistik, yang juga merupakan sifat yang melekat pada diri manusia. Dengan nilai ini akuntansi hanya akan memberikan perhatian pada dunia materi (uang). Sifat egoistik dan materialistik, diekspresikan dengan jelas pada laporan keuangan. Laporan rugi-laba misalnya, menunjukkan akomodasi akuntansi modern terhadap kepentingan (ego) stakeholders untuk mendapatkan informasi besarnya laba yang menjadi haknya. Setelah kedua nilai utama akuntansi modern itu, muncullah nilai utilitarianisme sebagai akibat dari menguatnya dua sifat sebelumnya. Sifat utilitarian adalah sifat yang menganggap bahwa nilai baik atau buruk dari sebuah perbuatan, diukur dengan ada tidaknya utilitas yang dihasilkan dari perbuatan yang dilakukan. Sehingga, sepanjang perbuatan itu menghasilkan utilitas, maka sepanjang itu pula sebuah perbuatan dikatakan baik tanpa melihat bagaimana prosesnya. Ketiga nilai yang dimiliki oleh akuntansi modern ini kemudian dikenal sebagai kapitalisme. Realitas akuntansi modern yang dibangun dengan nilai-nilai egoistik, materialistik dan utilitarian, menjadi belenggu bagi manusia modern untuk menemukan jati dirinya dan Tuhan. Menjadikan manusia modern terperangkap dalam dunia materi yang hedonis. Sehingga, akan mengakibatkan terjadinya dehumanisasi bagi diri manusia itu sendiri. Selain menjadikan manusia jauh dari penemuan jati dirinya bahkan menjauhkan manusia pada Tuhannya, karakter ini juga merusak hubungan antar manusia. Dimana relasi sosial menjadi terasuki oleh sifat egoistik, materialistik dan utilitarian.Bagi kalangan masyarakat muslim, Tuhan menjadi tujuan akhir dan menjadi tujuan puncak kehidupan manusia. Akuntansi syari’ah,hadir untuk melakukan dekonstruksi terhadap akuntansi modern. Melalui epistemologi berpasangan, akuntansi syari’ah berusaha memberikan kontribusi bagi akuntansi sebagai instrumen bisnis sekaligus menunjang penemuan hakikat diri dan tujuan hidup manusia. Pada versi pertama akuntansi syari’ah memformulasikan tujuan dasar laporan keuangannya untuk memberikan informasi dan media untuk akuntabilitas. Informasi yang terdapat dalam akuntansi syari’ah merupakan informasi materi baik mengenai keuangan maupun nonkeuangan, serta informasi nonmateri seperti aktiva mental dan aktiva spiritual. Contoh aktiva spiritual adalah ketakwaan, sementara aktiva mental adalah akhlak yang baik dari semua jajaran manajemen dan seluruh karyawan. Sebagai media untuk akuntabilitas, akuntansi syari’ah memiliki dua macam akuntabilitas yaitu akuntabilitas horisontal,dan akuntabilitas vertikal. Akuntabilitas horisontal berkaitan dengan akuntabilitas kepada manusia dan alam, sementara akuntabilitas vertikal adalah akuntabilitas kepada Sang Pencipta Alam Semesta. Pada versi kedua tujuan dasar laporan keuangan syari’ah adalah: memberikan informasi, memberikan rasa damai, kasih dan sayang, serta menstimulasi bangkitnya kesadaran keTuhanan. Ketiga tujuan ini, merefleksikan secara berturut-turut dunia materi, mental, dan spiritual. Tujuan : 1. secara khusus hanya menginformasikan dunia materi baik yang bersifat keuangan maupun non keuangan. 2.membutuhkan bentuk laporan yang secara khusus menyajikan dunia mental yakni rasa damai, kasih dan sayang. 3. disajikan dalam wadah laporan yang khusus menyajikan informasi kebangkitan kesadaran keTuhanan. Kinerja manajemen syari’ah memiliki tiga bentuk realitas yaitu fisik (materi) dengan perpektif kesalehan keuangan yang memiliki indikator seperti nilai tambah syari’ah (profit), dan zakat. Realitas berikutnya adalah psikis (mental) dengan perspektif kesalehan mental dan sosial, yang memiliki indikator seperti damai, kasih, sayang, adil, empati, dan peduli. Sementara realitas terakhir adalah spiritual dengan perspektif kesalehan spiritual, yang memiliki indikator seperti ikhsan, cinta, dan takwa. Akuntansi syari’ah dibangun dengan mengambil inspirasi dari syari’ah Islam. Secara ontologis, akuntansi syari’ah memahami realitas dalam pengertian yang majemuk. Sedangkan secara epistemologis, akuntasi syari’ah dibangun berdasarkan kombinasi antara akal yang rasional dengan rasa dan intuisi (kombinasi dunia fisik dengan dunia non fisik). E. Konsep Pengukuran dalam Akuntansi Syari’ah Pengukuran merupakan fungsi dari akuntansi, hanya saja sejauh ini ilmu akuntansi baru mampu melakukan pengukuran pada transaksi yang bersifat kuantitatif, moneter, dan untuk situasi tertentu yang sudah memiliki dasar adanya transaksi apakah sudah melibatkan kas atau baru pada tahap ”accrue” saja atau baru melibatkan hak atau title belum direalisasi melum diselesaikan dengan pembayaran atau penerimaan kas. Pengukuran dalam akuntansi konvensional dimaksudkan untuk mengetahui posisi keuangan atau dapat dilihat dari neraca dan mengetahui laba rugi yang dapat dilihat dari laporan laba rugi. Pengukuran laba merupakan fungsi yang sangat penting dalam akuntansi konvensional, karena dengan mengetahui laba ini dapat diketahui : 1.Prestasi Manajemen 2.Prestasi Perusahaaan 3.Pembagian Laba 4. Pembagian Bonus Menentukan Kebijakan Bisnis jika diberikan berbagai alternatif yang banyak. Dalam akuntansi islam ternyata perhitungan labaini juga penting, baik dalam kaitannya dengan pembagian laba antara pihak yang melakukan kerjasama maupun dalam menentukan hak, menentukan pembagian warisan, dan perhitungan zakat dari suatu kegiatan muamalat. Konsep laba dalam akuntansi konvensional telah lama dikaji dan berakar pada konsep economic income yang disampaikan oleh Fisher pada tahun 1930 dan kemudian dikembangkan oleh Hicks pada tahun 1946. salah satu hal yang disepakati dalam hal pengukuran income adalah adanya ”capital maintenance” yang berarti dalam menentukan laba maka harga pokok untuk mendapatkan laba itu harus memperhatikan biaya yang digunakan untuk ”memepertahankan” modal yang digunakan untuk mendapatkan laba itu. Misalnya mempertahankan nilainya (financial maintenance), kapasitasnya (physical maintenance), dan sebagainya. Tampaknya dalam akuntansi islam prinsip memelihara kapital ini lebih sesuai karena didasarkan pada salah satu Hadits yang menyatakan ” orang yang beriman yang melakukan transaksi dagang, labanya tidaklah sempurna sebelum modalnya dipelihara, dan juga bagi yang melakukan pekerjaan belum terpenuhi sebelum kewajibannya diselesaikan.” Dalam akuntansi konvensional dikenal beberapa pengukuran laba : Historical Cost, tidak menyertakan holding gain. Business Incime, menyertakan holding gain Realizable Income yang meggunakan exit value atau market price, net realizable value, current cash equivalent, Continuously Contemporary Income Variable Income yang mengeluarkan laba rugi yang tidak diperkirakan. menurut Shahul Hameed (2001) dan Hayashi (1989), yang paling sesuai dengan akuntansi islam khususnya dalam perhitungan laba, atau kekayaan kena zakat adalah Realizable Income yang menggunakan nilai atau harga pasar, exit value atau selling price. F . Jenis Laporan dalam Akuntansi Syari’ah Menurut Baydoun dan Willet (2000), bentuk laporan keuangan perusahaan yang lebih cocok dengan akuntansi islam adalah value added reporting bukan laporan laba rugi konvensional. Menurut beliau laporan value added reporting cenderung kepada prinsip-prinsip pertanggung jawaban sosial. Dalam value added reporting informasi yang disajikan meliputi laba bersih yang diperoleh perusahaan sebagai nilai tambah yang kemudian didistribusikan secara adil kepada kelompok yang terlibat dengan perusahaan dalam menghasilkan nilai tambah Menurut Harahap (2001) berbicara mengenai tangung jawab sosial, islam telah mengaturnya, tidak hanya tanggung jawab sosial, tapi hanya kepada tuhan. Oleh karena itu untuk memfasilitasi pertanggung jawaban tersebut maka beberapa kemungkinan bentuk dan jenis laporan keuangan akuntansi islam adalah sebagai berikut: Neraca dimana juga dimuat informasi tentang karyawan, dan akuntansi SDM Laporan nilai tambah sebagai pengganti laporan laba rugi Laporan arus kas Socio Economic atau laporan pertanggung jawaban sosial catatan penyelesaian laporan keuangan yang bisa berisi laporan : a. Mengungkapkan lebih luas tentang laporan keuangan yang disajikan b. Laporan tentang berbagai nilai dan kegiatan yang tidak sesuai dengan syarat islam. Misalnya dengan juga menyajikan pernyataan dari Dewan Pengawas Syari’ah c. Menyajikan Informasi tentang efisiensi, good governance dan laporan produktifitas. Beberapa item yang dapat diungkapkan melalui laporan keuangan : informasi tentang karyawan : a. Cuti hamil yang diberikan perusahan b. Bonus /THR c. Rasio Pendapatan Pegawai tertinggi dan terendah d. Jam kerja biasa dan sewaktu Ramadhan e. Perbedaan jam kerja, ruangan wanita dan laki-laki Aspek lingkungan: a. Tingkat polusi yang ditimbulkan perusahaan b. Komplain masyarakat/ tetangga c. Penyediaan sarana Ibadah d. Perlindungan karyawan, keamanan pekerja, pekerja malam. e. Pemeliharaan lingkungan yang nyaman. Aspek social : a. Zakat yang dibayarka b. Infaq dan shadaqah c. Pemeliharaan dan bantuan orang miskin dan anak yatim d. Bantuan pembangunan mesjid, sarana pendidikan dan sarana sosial lainnya. e. Bantuan keamanan lingkungan f. Bantuan untuk keguatan masyarakat konsepsi Pelaporan Keuangan Karena akuntansi konvensional yang dikenal saat ini diilhami dan berkembang berdasarkan tata nilai yang ada dalam masyarakat barat, maka kerangka konseptual yang dipakai sebagai dasar pembuatan dan pengambangan standar akuntansi berpihak kepada kelompok kepentingan tertentu. Laporan keuangan merupakan hasil akhir dari suatu proses akuntansi. Agar informasi keuangan yang disajikan bermanfaat bagi para pemakai, maka proses penyajiannya harus berdasarkan pada standar akuntansi yang berlaku. Dalam merumuskan standar akutansi, diperlukan acuan teoritikal yang dapat diterima umum, sehingga standar akuntansi yang diterapkan dapat digunakan untuk mengevaluasi praktik akuntansi yang berlangsung. Acuan teoritikal ini disebut kerangka konseptual penyusunan laporan keuangan. Fenomena kegagalan akuntansi konvensional dalam memenuhi tuntutan masyarakat akan informasi keuangan yang benar, jujur dan adil, meningkatkan kesadaran di kalangan intelektual muslim akan perlunya pengetahuan akuntansi yang islami. Perumusan kembali kerangka konseptual pelaporan keuangan dengan mendasarkan pada prinsip kebenaran, kejujuran dan keadilan menjadi sangat mendesak untuk dilakukan. Mengingat akuntansi syariah sesuai dengan itrah (kecenderungan) manusia yang menghendaki terwujudnya kehidupan bermasyarakat yang menjunjung tinggi etika dan tanggung jawab sosial. Islam yang disampaikan Rasulullah saww melingkupi seluruh alam yang tentunya mencakup seluruh umat manusia. Di sinilah perbedaan antara paham akuntansi konvensional dengan akuntansi syariah. Paham akuntansi konvensional hanya mementingkan kaum pemilik modal (kapitalis), sedangkan akuntansi syariah bukan hanya mementingkan manusia saja, tetapi juga seluruh makhluk di alam semesta ini. G. Ilmu Auditing Dalam Perspektif Islam Sebagaimana kita ketahui, dengan munculnya ilmu akuntansi maka muncul pula berbagai disiplun ilmu yang berkaitan dengan disiplin ilmu tersebut, diantaranya adalah Auditing. Sistem ekonomi islam sudah mulai dipraktikkan dilapangan dan bukan hanya menjadi bahan diskusi para ahli. Pada awalnya sistem ini diterapkan dalam sektor perbankan, dan kemudian juga merambat pada sektor keuangan lainnya seperti asuransi dan pasar modal. Perkembangannya sangat pesat, saat ini tidak kurang dari 200 lembaga keuangan Islam telah beroperasi menerapkan sistem ekonomi islam yang terdapat diberbagai belahan dunia bukan saja dinegara Islam tetapi juga di negara non muslim. Dengan munculnya sistem tersebut mau tidak mau lembaga ini pasti memiliki perbedaan dengan lembaga konvensional, karena ia dioperasikan dengan menggunakan sistem nilai syariah yang didasarkan pada kedaulatan Tuhan bukan kedaulatan rasio ciptaan Tuhan yang terbatas. Dengan demikian maka sistem yang berkaitan dengan eksistensi lembaga ini juga perlu menerapkan nilai-nilai islami jika kita ingin menerapkan nilai-nilai Islami secara konsisten. Maka disinilah relevansi perlunya sistem auditing Islami dalam melakukan fungsi audit terhadap lembaga yang dijalankan secara Islami ini. Pendekatan dalam perumusan sistem ini adalah seperti yang dikemukakan oleh Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institution (AAOIFI) yaitu : 1. Menentukan tujuan berdasarkan prinsip Islam dan ajarannya kemudian menjadikan tujuan ini sebagai bahan pertimbangan dengan mengaitkannya dengan pemikiran akuntansi yang berlaku saat ini. 2. Memulai dari tujuan yang ditetapkan oleh teori akuntansi kepitalis kemudian mengujinya menurut hukum syariah, menerima hal-hal yang konsisten dengan hukum syariah dan menolak hal-hal yang bertentangan dengan syariah. Bagaimana pengatauran Kode Etik Profesinya? Etika sering disebut moral akhlak, budi pekerti adalah sifat dan wilayah moral, mental, jiwa, hati nurani yang merupakan pedoman perilaku yang idial yang seharusnya dimiliki oleh manusia sebagai mahluk moral. Kode Etik Akuntan Kode etik akuntan ini adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari syariah islam. Dalam sistem nilai Islam syarat ini ditempatkan sebagai landasan semua nilai dan dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam setiap legislasi dalam masyarakat dan negara Islam. Namun disamping dasar syariat ini landasan moral juga bisa diambil dari hasil pemikiran manusai pada keyakinan Islam. Beberapa landasan Kode Etik Akuntan Muslim ini adalah : Integritas : Islam menempatkan integritas sebagai nilai tertinggi yang memandu seluruh perilakunya. Islam juga menilai perlunya kemampuan, kompetensi dan kualifikasi tertentu untuk melaksanakan suatu kewajiban. Keikhlasan : Landasan ini berarti bahwa akuntan harus mencari keridhaan Allah dalam melaksanakan pekerjaannya bukan mencari nama, pura-pura, hipokrit dan sebagai bentuk kepalsuan lainnya. Menjadi ikhlas berarti akuntan tidak perlu tunduk pada pengaruh atau tekanan luar tetapi harus berdasarkan komitmen agama, ibadah dalam melaksanakan fungsi profesinya. Tugas profesi harus bisa dikonversi menjadi tugas ibadah. Ketakwaan : Takwa merupakan sikap ketakutan kepada Allah baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan sebagai salah satu cara untuk melindungi seseorang dari akibat dari perilaku yang bertentangan dari syariah khususnya dlam hal yang berkitan dengan perilaku terhadap penggunaan kekayan atau transaksi yang cenderung pada kezaliman dan dalam hal yang tidak sesuai dengan syariah. Kebenaran dan Bekerja Secara Sempurna : Akuntan tidak harus membatasi dirinya hanya melakukan pekerjaan-pekerjaan profesi dan jabatannya tetapi juga harus berjuang untuk mencari dan mnenegakkan kebenaran dan kesempurnaan tugas profesinya dengan melaksanakan semua tugas yang dibebankan kepadanya dengan sebaik-baik dan sesempurna mungkin. Hal ini tidak akan bisa direalisir terkecuali melalui kualifikasi akademik, pengalaman praktik, dan pemahaman serta pengalaman keagamaan yang diramu dalam pelaksanaan tugas profesinya. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah dalam Surat An Nahl ayat 90 Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berbuat adil dan berbuat kebajikan??, dan dalam Surat Al Baqarah ayat 195 “Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. Takut kepada Allah dalam setiap Hal : Seorang muslim meyakini bahwa Allah selalu melihat dan menyaksikan semua tingkah laku hambaNya dan selalu menyadari dan mempertimbangkan setiap tingkah laku yang tidak disukai Allah. Ini berarti sorang akuntan/auditor harus berperilaku ?takut? kepada Allah tanpa harus menunggu dan mempertimbangkan apakah orang lain atau atasannya setuju atau menyukainnya. Sikap ini merupakan sensor diri sehingga ia mampu bertahan terus menerus dari godaan yang berasal dari pekerjaan profesinya. Sikap ini ditegaskan dalam firman Allah Surat An Nisa ayat 1 Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu?. Dan dalam Surat Ar Ra?d Ayat 33 Allah berfirman : “Maka apakah Tuhan yang menjaga setiap diri terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian sifatnya)”. Sikap pengawasan diri berasal dari motivasi diri berasal dari motivasi diri sehingga diduga sukar untuk dicapai hanya dengan kode etik profesi rasional tanpa diperkuat oleh ikatan keyakinan dan kepercayaan akan keberadaan Allah yang selalu memperhatikan dan melihat pekerjaan kita. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Thaha ayat 7: “Sesungguhnya dia mengetahui rahasia dan apa yang lebih tersembunyi”. Manusia bertanggungjawab dihadapan Allah : Akuntan Muslim harus meyakini bahwa Allah selalu mengamati semua perilakunya dan dia akan mempertanggungjawabkan semua tingkah lakunya kepada Allah nanti di hari akhirat baik tingkah laku yang kecil amupun yang besar. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al Zalzalah ayat 7-8 : “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrahpun niscaya dia akan melihat balasnya pula”. Oleh karena itu akuntan/auditor harus selalu ingat bahwa dia akan mempertanggungjawabkan semua pekerjaannya dihadapan Allah dan juga kepada publik, profesi, atasan dan dirinya sendiri. Gambaran singkat ini mudah-mudahan menggugah kita bahwa auditing syari’ah sudah mulai berkembang sejalan dengan perkembangan sistem ekonomi islam. Suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada nilai-nilai Islam. H. Eksistensi Lembaga Keuangan dan Akuntansi Syari’ah Salah satu permasalahan mendasar yang dihadapi oleh kalangan perbankan syariah saat ini adalah standarisasi sistem akuntansi dan audit, yang bertujuan untuk menciptakan transparansi keuangan sekaligus memperbaiki kualitas pelayanan keuangan kepada masyarakat. Kita mengetahui bahwa diantara kunci kesuksesan suatu bank syariah sangat ditentukan oleh tingkat kepercayaan publik terhadap kekuatan finansial bank yang bersangkutan, dan kepercayaan terhadap kesesuaian operasional bank dengan sistem syariah Islam. Kepercayaan ini terutama kepercayaan yang diberikan oleh para depositor dan investor, dimana keduanya termasuk stakeholder utama sistem perbankan di dunia ini. Salah satu sumber utama untuk meraih kepercayaan publik adalah tingkat kualitas informasi yang diberikan kepada publik, dimana bank syariah harus mampu meyakinkan publik bahwa ia memiliki kemampuan dan kapasitas di dalam mencapai tujuan-tujuan finansial maupun tujuan- tujuan yang sesuai dengan syariat Islam. Karena itu, membangun sebuah sistem akuntansi dan audit yang bersifat standar merupakan sebuah keniscayaan dan telah menjadi kebutuhan utama yang harus dipenuhi. Tanpa itu, mustahil bank syariah dapat meningkatkan daya saingnya dengan kalangan perbankan konvensional. Bahkan jika kita melihat pada Al-Quran, maka kebutuhan pencatatan transaksi dalam sebuah sistem akuntansi yang tertata merupakan suatu hal yang sangat penting. Kalau kita cermati surah Al-Baqarah ayat 282, Allah memerintahkan untuk melakukan penulisan secara benar atas segala transaksi yang pernah terjadi selama melakukan muamalah. Dari hasil penulisan tersebut dapat digunakan sebgai informasi untuk menentukan apa yang diperbuat oleh seeorang. jikalau kita kaitkan ayat tersebut dengan konteks perbankan kontemporer, maka memiliki sistem akuntansi yang sistematis, transparan, dan bertanggungjawab, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam. Namun yang perlu kita perhatikan, terutama pada tataran operasional, sistem akuntansi pada perbankan syariah memiliki karakter tersendiri yang berbeda dengan sistem akuntansi perbankan konvensional, meski pada aspek-aspek tertentu, keduanya memiliki persamaan-persamaan. Diantara perbedaan yang sangat prinsipil adalah larangan riba / bunga dalam praktek perbankan syariah dan differensiasi produk perbankan syariah yang lebih variatif dan beragam bila dibandingkan dengan sistem perbankan konvensional. Sehingga konsep dan struktur dasar investasi dan keuangan pada sistem perbankan syariah haruslah menjadi konsideran utama didalam membangun sistem akuntansi yang kredibel.Dengan demikian, lahirnya sistem ekonomi islam secara langsung akan mempengaruhi bentuk sistem akuntansi yang akan diterapkan dalam suatu masyarakat. KESIMPULAN A. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kerangka akuntansi konvensional, yang didasarkan pada ide-ide barat, tidak sesuai diterapkan pada masyarakat islam. Ketidaksesuaiannya itu terlihat pada aspek: pengeliminasian nilai-nilai agama; penggunaan rasionalitas sebagai dasar pengambilan keputusan; dan penekanannya pada nilai pemilik modal pada suatu perusahaan. Oleh karena itu kenyataannya masyarakat islam memiliki alternatif atas keberadaan akuntansi konvensional, dan para sarjana muslim mampu mengembangkan kerangka akuntansi yang sesuai dengannya dan didasarkan pada nilai-nilai agamanya. Sementara itu, paradigma stari’ah, menekankan pada aspek nilai hukum dan etika islami dalam sistem akuntansi. Aspek ini diusulkan menjadi kerangka yang sesuai dalam mengembangkan akuntasi syari’ah. Suatu hal yang sangat penting untuk diperkenalkan adalah bahwa penerapan akuntansi syari’ah berdasarkan pada paradigma syari’ah yng merupakan bagian yang sangat berhubungan dengan tauhid al-ibadah mengakui ke-Esa-an Allah sebagai pemilik Alam semesta ini). Dengan demikian, usaha berkelanjutan akan dilakukan oleh setiap orang islam untuk menjabarkan syari’ah dalam kehidupannya. Hal yang lebih penting adalah penjabaran tersebut diharapkan dapat diterima oleh semua golongan, khususnya bagi kelompok non-muslim. oleh karena itu, hal ini bukanlah tugas yang mudah, kecuali ada upaya yang sungguh-sungguh untuk mencapai suatu keadaan yang islami, pada seluruh aspek kehidupan. Jika hal ini dapat diwujudkan, maka usaha yang terus menerus itu dapat diterjemahkan dalam bisnis, manajemen. Itu semua dapat dilakukan dalam rangka untuk menantarkan manusia dapat mencapai tingkat kemenangan (falah). LAHIRNYA Akuntansi Syariah LAHIRNYA Akuntansi Syariah yang merupakan paradigma baru dalam wacana Akuntansi [Triyuwono, 2000] sangat terkait dengan kondisi obyektif yang melingkupi umat Islam secara khusus dan masyarakat dunia secara umum. Kondisi ini meliputi: norma agama, kontribusi umat Islam pada masa lalu, sistem ekonomi kapitalis yang berlaku saat ini dan perkembangan pemikiran di Indonesia, istilah akuntansi syariah muncul pada pertengahan tahun 1997 ketika Harian Republika mengekpos Iwan Triyuwono dengan topik pembicaraan akuntansi syariah. Sejak saat itu wacana akuntansi syariah mulai ada dan berkembang di Indonesia. Pada tahap awal, istilah akuntansi syariah merupakan pemicu bagi lahirnya akuntansi syariah pada tingkat wacana (discourse). Ini ternyata mempunyai dampak yang sangat positif. Jadi dapat dikatakan bahwa akuntansi syariah merupakan sebuah wacana yang bisa digunakan untuk berbagai ide, konsep dan pemikiran tentang akuntansi syariah itu sendiri. Wacana tersebut seterusnya berada pada tatanan konsep, tetapi bisa juga diturunkan ke tatanan yang lebih praktis. Yang pertama cenderung untuk mengembangkan akuntansi syariah sebagai kajian filosofis- teoritis yang memberi payung untuk derivasi konkrit dalam bentuk praktik dan kebutuhan pragmatis. Di Indonesia, karya Widodo dkk (1999) tentang akuntansi untuk Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang bisa dianggap sebagai karya konkrit dan praktis tentang akuntansi syariah. PSAK 59 tentang akuntansi perbankan syariah yang disahkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan pada tanggal 1 Mei 2002 akan menambah wacana tentang akuntansi syariah praksis di Indonesia. PSAK 59 banyak merujuk pada standar yang dikeluarkan oleh AAOIFI yaitu Accounting and Auditing for Islamic Financial Institutions. PSAK 59 sendiri masih mengandung nanyak kritikan seperti masalah cash basis dan accrual basis, revenue sharing dan profit sharing, namun belum banyak yang memberikan kritikan mengenai nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Triyuwono (2002b) berargumentasi bahwa PSAK 59 masih sarat dengan nilai kepemilikan kapitalisme karena menggunakan entity theory yang sangat berorientasi pada income untuk maksimum utilitas bagi pemilik. Hamed (2003) menyatakan bahwa ketika institusi Islami menggunakan akuntansi konvensional yang berbasis nilai sekuler kapitalistik maka akan menyebabkan mismatch dalam pencapaian socio-economic objectives of Shari’ah. Oleh karena itu kajian mengenai nilai-nilai Islami dalam akuntansi syariah praksis (termasuk PSAK 59) dengan kriteria akuntansi syariah filosofis-teoritis, sangat perlu dilakukan. Laporan Keuangan Paradigma Akuntansi Syariah Filosofis-Teoritis Hameed (2003) mendefinisikan akuntansi Islami (syariah) sebagai proses akuntansi yang menyediakan informasi yang sesuai (tidak hanya terbatas pada data keuangan) kepada stakeholders sebuah entitas untuk menjamin bahwa institusi tersebut beroperasi secara berkelanjutan sesuai dengan prinsip syariah dan membawanya kapada tujuan socio-economic. Makna definisi tersebut akan lebih jelas jika membandingkan definisi tersebut dengan definisi akuntansi konvensional. Akuntansi konvensional seperti kita ketahui adalah proses identifikasi, pencatatan, klasifikasi, interprestasi dan mengkomunikasikan peristiwa ekonomi kepada pengguna tertentu untuk pengambilan keputusan (AAA, 1996). Berdasar definisi tersebut, Hameed (2003) membedakan akuntansi syariah dengan akuntansi konvensional karena tiga hal: (1) tujuan penyediaan informasi, (2) tipe informasi yang diidentifikasi dan bagaimana mengukur dan menilainya, mencatat dan mengkomunikasikannya (3) kepada siapa informasi tersebut dikomunikasikan (users). Akuntansi konvensional Akuntansi konvensional bertujuan menyediakan informasi yang tujuan utamanya adalah mengalokasikan sumber daya yang tersedia secara efisien dalam kerangka market efficiency hypothesis yang dipakai oleh pengguna dalam keputusan jual atau beli dalam invenstasi mereka. Sedangkan tujuan akuntansi syariah adalah menjamin bahwa organisasi Islami mematuhi prinsip syariah dan mencoba mencapai tujuan socio economic tertentu yang sesuai dengan Islam. Berdasar tujuan tersebut, maka akuntansi syariah harus holistic dalam pelaporannya dengan ukuran finansial dan non finansial dengan mempertimbangkan peristiwadan transaksi ekonomi, sosial, lingkungan dan religius yang harus diukur dan dilaporkan/diungkapkan. Sementara itu, Triyuwono (2002a) memformulasikan tujuan dasar laporan keuangan akuntansi syariah yang bersifat “materi” adalah pemberian informasi untuk pengambilan keputusan ekonomi sedangkan yang bersifat “spirit” adalah akuntabilitas. Kedua tujuan ini bersifat mutually inclusive yaitu tujuan yang satu tidak dapat meniadakan yang lain dan berada dalam satu kesatuan. Triyuwono (2002a) berargumen bahwa akuntansi syariah merupakan instrumen akuntabilitas yang digunakan oleh manajemen kepada Tuhan (akuntabilitas vertikal), stakeholders dan alam (akuntabilitas horisontal). Mengenai informasi yang harus diberikan/diungkapkan oleh akuntansi syariah, Triyuwono (2002a, 214) berpendapat: ”Perlu diketahui bahwa dalam pemikiran ini, pemberian informasi tidak terbatas pada pemberian informasi kuantitatif, sebagaimana pada akuntansi modern, tetapi juga melingkupi informasi kualitatif, baik yang bersifat ekonomi maupun yang bersifat social, spiritual, dan politik bisnis. ” Baydoun dan Willet (1994,17) juga menekankan pentingnya akuntabilitas kepada Tuhan dan masyarakat sebagai tujuan dari akuntansi syariah: The focal concepts of ownership in Islam are different from that of the typical western interpretation. According to Shari'a, individuals are only trustees for what they own. God is the ultimate owner the all wealth (Qur'an 6:165, 57:7). Although individuals have the right own resources that are made avalaible by God, the right is not absolute. This tenet has a direct impact on the objective of accounting from an Islamic point of view. Accountability is seen as being personal accountanbility to God. Accountability from the traditional western perspective, of course, is being interpreted by being accountable to private stakeholder. In an Islamic accounting system, accountability may be interpreted as being accountable to the society at large. Akuntansi syariah menurut Baydoun dan Willet (1994) mempunyai dua prinsip esensial yaitu full disclosure dan social accountability yang diturunkan dari pertanggungjawaban menurut syariah setiap muslim kepada masyarakat secara umum. Berdasar prinsip tersebut maka kerangka pengungkapan (disclosure framework) barat dipandang oleh Baydoun dan Willet (1994) sangat terbatas untuk tujuan akuntabilitas kepada umat. Hal ini disebabkan disclosure terbatas pada laporan keuangan yang berdasarkan historical cost serta mengabaikan hubungan potensial entitas dengan lingkungan sosial yang lebih luas. Baydoun dan Willet (2000) berargumentasi bahwa fokus akuntansi syariah berbeda dengan fokus pemilik entitas dalam akuntansi barat sehinggga prinsip full disclosure mutlak dibutuhkan oleh akuntansi syariah (Baydoun dan Willet, 2000,81) : In contrast to the focus on the owners of the entity in WFASs, the focus in Islam on the Unity of God, the community and the environment demands a form of social accountability rather than the personal accountability found in Western societies. Similarly, for the consensus to operate effectively a principle of full disclosure of accounting information is needed, not based upon the outcome of a political process but upon what ought to be disclosed in order to serve the objective of social accountability. Oleh karena itu Baydoun dan Willet (1994, 2000) mengusulkan format Islamic Corporate Report dengan pengungkapan yang lebih luas dibandingkan dengan akuntansi konvensionaj, Selain neraca (historical cost), laporan laba rugi, laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuitas, dan laporan keuangan yang menunjukkan karakteristik perusahaan Islami seperti: laporan perubahan dana investasi terikat, dan laporan sumber dan penggunaan dana zakat dan qard, mereka juga mengusulkan neraca (current value) dan Laporan Nilai Tambah (Value Added Statement). Tambahan laporan keuangan tersebut dianggap. sesuai dengan karakteristik akuntansi syariah yang menunjukkan perhatian entitas terhadap kepentingan sosial (indirect stakeholders) dan lingkungan alam. Yaya (2001) berpandangan bahwa diperlukan perubahan yang besar (extensive overhaul) akuntansi konvensional untuk menjadi akuntansi syariah. Ia berpandangan bahwa akuntansi konvensional gagal mencapai tujuan sosial ekonomi dalam Islam. Tujuan sosial ekonomi dalam Islam menjadi landasan dalam setiap figh/aturan Islam yang berkaitan dengan isu ekonomi karena permasalahan ekonomi saat ini sangat rumit sementara beberapa di antaranya tidak diatur secara langsung oleh prinsip syariah. Sebagai contoh permasalahan pasar modal tidak diatur secara langsung oleh prinsip syariah tetapi substansi masalahnya dapat diputuskan oleh prinsip syariah yang berlandaskan tujuan sosial ekonomi dalam Islam. Contoh lain adalah masalah zakat penghasilan. Meskipun zakat penghasilan tidak diatur secara langsung dalam prinsip syariah, tetapi karena sesuai dengan tujuan sosial ekonomi dalam Islam, hampir semua pemikir dapat menerimanya dan bahkan telah dilaksanakan dalam beberapa masyarakat Islam. Perubahan yang kecil {slight changes) diragukan bisa mencapai tujuan sosial ekonomi Islam baik dalam level mikro maupun makro. Ibrahim (2000) dalam Yaya (2001) berpendapat bahwa dalam level mikro, teknik akuntansi seperti penganggaran, varians, dan pengukuran kinerja telah memisahkan antara akuntabilitas dan akuntansi yang membawa konsekuensi sosial dan manusia yang negatif. Dalam level makro telah menjadi alat yang efektif untuk tujuan eksploitasi perusahaan multinasional, privatisasi, pengangguran dan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu Yaya (2001) berpandangan perlu dilakukan perubahan yang mendasar dalam akuntansi konvensional untuk mencapai tujuan sosial ekonomi. Meskipun demikian Yaya (2002) berargumen bahwa perkembangan pelaporan akuntansi barat dapat dipertimbangkan sebagai sarana pelaporan akuntansi Islam masa depan. Hal ini disebabkan perkembangan tersebut sejalan dengan pemikiran akuntansi Islami yang memandang organisasi tidak hanya terlibat dalam peristiwa ekonomi namun juga peristiwa sosial dan lingkungan seperti penggunaan sumber daya alam dan tenaga kerja yang disediakan oleh masyarakat dan lingkungan. Berkaitan dengan tujuan akuntansi syariah, Haniffa dan Hudaib dalam A Conceptual Framework For Islamic Accounting: The Syariah Paradigm (2001) merumuskannya untuk membantu keadilan sosial dan ekonomi serta mengakui pemenuhan kewajiban kepada stakeholders, sosial, dan Tuhan. Pendapat tentang pentingnya keadilan ini berdasar nucleus Al Qur'an Surat Al-Hadiid ayat 24: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan Neraca (Keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (Q. S. Al Hadiid: 24) Sedangkan berkaitan dengan pemenuhan kewajiban (akuntabilitas) dapat dilihat konsep kepemilikan dalam Islam pada Surat Thaha ayat 6: Kepunyaan-Nyalah semua yang ada di langit, semua yang ada di bumi, semua yang ada di antara keduanya, dan semua yang ada di bawah tanah (Q. S. Thaha: 6) Mohammad R. Taheri dalam artikelnya yang berjudul The Basic Principles of Islamic Economy and Their Effects on Accounting Standars Settings (2000) berpendapat bahwa kebijakan akuntansi untuk akuntansi model Islami akan lebih berorientasi nilai (value-oriented). Hal ini didasarkan adanya tiga komponen dasar dalam ekonomi Islam yaitu prinsip multi kepemilikan dalam Islam, prinsip kebebasan ekonomi dengan batasan yang ditentukan, dan prinsip keadilan sosial. Berkaitan dengan prinsip-prinsip tersebut, maka laporan keuangan harus ditujukan untuk memenuhi kepentingan negara, manajemen dan masyarakat. Sementara Harahap (2001) mengusulkan Struktur Teori Konseptual Akuntansi Islam yang memuat tujuan akuntansi syariah. Tujuan tersebut yaitu tujuan muamalah (Amar Ma'ruf Nahi Munkar, keadilan dan kebenaran), maslahat sosial, kerjasama, menghapus riba, mendorong zakat, dan menghindari riba. Senada dengan pendapat tersebut, Hameed (2000a) menekankan pentingnya tujuan akuntasi syariah untuk memberikan informasi bagi perhitungan zakat, pelaksanaan keadilan, dan melaporkan kegiatan yang bertentangan dengan syariah. Tujuan- tujuan perlu dilaksanakan dalam rangka memenuhi pertanggungjawaban baik kepada direct stakeholders maupun indirect stakeholders. Sedangkan Khan (1994) menyatakan bahwa tujuan informasi akuntansi untuk bank syariah berbeda dengan bank konvensional karena dua alasan yaitu: (1) bank syariah berhubungan dengan kerangka syariah sehingga konsep transaksinya berbeda dengan bank konvensional (2) pengguna informasi yang dihasilkan bank syariah mempunyai kebutuhan yang berbeda dengan pengguna informasi bank konvensional. Pengguna informasi bank syariah menurut Khan (1994) tidak hanya direct stakeholders saja seperti shareholders, investor, Dewan Pengawas Syariah, bank sentral, pemerintah, namun juga indirect stakeholders seperti general public, non-muslim observers , peneliti, dan karyawan. Oleh karena itu informasi yang diungkapkan tidak hanya untuk direct stakeholders seperti informasi yang membantu mengevaluasi kemampuan menjaga aset, memelihara likuiditas, penggunaan sumber daya yang profitable dan kepatuhan terhadap syariah namun juga informasi pertanggungjawaban kepada karyawan, customers, masyarakat, dan lingkungan. Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan akuntansi syariah dalam wacana filosofis-teoritis yaitu lebih menekankan pada pemenuhan akuntabilitas. Hal inilah yang membedakan dengan akuntansi konvensional yang lebih menekankan pada pemberian informasi untuk pengambilan keputusan ekonomi. Tujuan akuntansi syariah tersebut akan mendasari teori- teori akuntansi syariah termasuk dalam hal pengungkapan pelaporan keuangan. Berdasarkan paradigma akuntansi syariah di atas maka Ratmono (2004) menyusun formula pengungkapan pelaporan keuangan minimum bank syariah berdasar pendapat Baydoun and Willet (1994, 2000) Gambling and Karim (1991),Hameed (2000a, 2000b, 2000c, 2003), Haniffa and Hudaib (2001), Harahap (1997, 2001, 2002), Khan (1994), Taheri (2001), Triyuwono (2001), Yaya (2002), dan Rahman (2000). Dari formula tersebut nampak bahwa sangat ditekankan pengungkapan Islamic values untuk tujuan akuntabilitas yang tidak hanya terbatas pada ukuran keuangan dan berorientasi direct stakeholders. Wallahua’lam. Laporan Keuangan Akuntansi Syari'ah. Makalah Simposium Nasional Sistem Ekonomi Islami yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia. 13-14 Maret 2002